Bukan Menjadi Kita (Part 4)



“Farah, maukah kamu jadi pacarku? Aku  tak bisa hidup tanpamu, aku sayang kamu,” berdiri di atas ranjang, “Kumohon jadilah pendamping hidupku,” Zackhy sedang mengigau.
“Hei,” sambil memukul-mukul kaki anaknya, “Hei, hei,” kata Ibu Susan.

Malam yang sepi menjadi ramai karena canda dan tawa anak dan orangtua. Zackhy sampai membawa persoalan itu ke dalam mimpi. Azan subuh telah berkumandan dengan lantang di Mesjid Al Ikhlas.
“Jangan lupa sholat,” kata Ibu Susan mengingatkan.
“Ia Ma,” kata Zackhy menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Matahari telah menyinari dunia kembali, Zackhy telah rapid an siap untuk berangkat ke sekolah, dengan harapan suratnya dibaca oleh Farah. Zackhy berangkat dan tak lupa meminta izin dari Ibunya.
Sesampai di sekolah, Zackhy kaget, surat untuk Farah berada ditangan Andy yang berdiri di depan Farah. Zackhy tetap saja jalan, dengan sabar dan percaya diri agar tidak seorangpun tau bahwa ialah yang mengirim surat itu.

“Ndy, kata-katanya itu buat ngakak,” kata Farah.
“Heem,” sambil tertawa, “Ia betul, mukamu kayak bulan katanya,” lanjut Andy.
“Muka aku dikatai bulan, bulankan jelek,” tertawa dengan riang.

Di sudut kelas seorang remaja muda, yang baru merasakan hal yang sebelumnya tak pernah ia rasakan, tertunduk lesuh, melihat Andy dan Farah menertawai karyanya. Zackhy akan menanggung malu besar jika mereka tau bahwa surat itu darinya. Andy dan Farah masih membaca surat itu dengan tetap tertawa.

Sebuah sampah yang dipandang sebelah mata akan tidak berguna, tapi jika diamati baik-baik sampah itu bisa menjadi barang yang berharga. Begitu juga dengan puisi Zackhy yang ditertawai habis-habisan oleh Andy dan Farah, jika mereka tau berapa atau mereka tau Zackhy menulisnya dengan penuh perasaan yang sangat menggebuh di hatinya.

Bersambung ...

Post a Comment