“Farah,
maukah kamu jadi pacarku? Aku tak bisa
hidup tanpamu, aku sayang kamu,” berdiri di atas ranjang, “Kumohon jadilah
pendamping hidupku,” Zackhy sedang mengigau.
“Hei,” sambil
memukul-mukul kaki anaknya, “Hei, hei,” kata Ibu Susan.
Malam yang
sepi menjadi ramai karena canda dan tawa anak dan orangtua. Zackhy sampai
membawa persoalan itu ke dalam mimpi. Azan subuh telah berkumandan dengan
lantang di Mesjid Al Ikhlas.
“Jangan lupa
sholat,” kata Ibu Susan mengingatkan.
“Ia Ma,” kata
Zackhy menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Matahari
telah menyinari dunia kembali, Zackhy telah rapid an siap untuk berangkat ke
sekolah, dengan harapan suratnya dibaca oleh Farah. Zackhy berangkat dan tak
lupa meminta izin dari Ibunya.
Sesampai di
sekolah, Zackhy kaget, surat untuk Farah berada ditangan Andy yang berdiri di
depan Farah. Zackhy tetap saja jalan, dengan sabar dan percaya diri agar tidak
seorangpun tau bahwa ialah yang mengirim surat itu.
“Ndy,
kata-katanya itu buat ngakak,” kata
Farah.
“Heem,”
sambil tertawa, “Ia betul, mukamu kayak bulan katanya,” lanjut Andy.
“Muka aku
dikatai bulan, bulankan jelek,” tertawa dengan riang.
Di sudut
kelas seorang remaja muda, yang baru merasakan hal yang sebelumnya tak pernah
ia rasakan, tertunduk lesuh, melihat Andy dan Farah menertawai karyanya. Zackhy
akan menanggung malu besar jika mereka tau bahwa surat itu darinya. Andy dan
Farah masih membaca surat itu dengan tetap tertawa.
Sebuah sampah
yang dipandang sebelah mata akan tidak berguna, tapi jika diamati baik-baik
sampah itu bisa menjadi barang yang berharga. Begitu juga dengan puisi Zackhy
yang ditertawai habis-habisan oleh Andy dan Farah, jika mereka tau berapa atau
mereka tau Zackhy menulisnya dengan penuh perasaan yang sangat menggebuh di
hatinya.
Bersambung ...
Post a Comment