Bukan Menjadi Kita (Part 1)

           Setiap manusia memiliki hak untuk merasakan apa yang namanya kasih sayang, dan berhak secara total untuk menerima namanya sakit hati, jika kasih sayang itu telah ternodai. Seperti juga jika kita menancapkan sebuah paku, lalu kemudian dicabut, itu dapat meninggalkan sebuah lubang pada papan itu. Dari jauh sosok lelaki yang sibuk menulis dihampiri oleh seorang wanita yang bernama Farah. Seorang wanita yang hyper active.

“Andy?”sapa Farah dengan lirih.
“Kenapa?” dengan nada yang rada nyolot.
“Santai bisa nggak?” dengan muka mulai aneh.
“Farah …, saya lagi sibuk, kalau kamu butuh langsung bilang, to the point aja,” jawab Andy.
“Oke Ya udah,” Farah meninggalkan Andy.

Prinsip kertas putih yang diemban keduanya mulai ternodai dengan noda hitam. Mereka mengalami sedikit kesalahpahaman. Andy juga yang tidak bisa membaca kondisi. Farah duduk lesuh di bawah pohon yang rindang, dengan kolam ikan dihadapannya. Tiba-tiba Andy datang.

“Sejuk,” menghirup nafas, “Sejuk ya udaranya?” tanya Andy.
“Oh,” membuang muka, “Udaranya kotor,” jawabnya.
“Kok bisa? ‘Kannya udara di sini selalu bersih?” tanya Andy lagi.
“Tadi, ada polusi yang datang, yang membuat karbondioksida di sini,” cetusnya.
“Hmmm,” pindah ke depan Farah, “Marah ya? Mana prinsip kertas putihnya?”
“Ya ya ya, aku yang yang salah,” dengan senyum.
“Gak, aku yang salah, aku yang terlalu sibuk,” kata Andy.

Ternyata prinsip kertas putih mampu menjadikan keduanya berbaikan. Jangankan dengan masalah hati, mulut pun mampu bersilat lidah dengan sedikit melakukan atau mengungkapkan kata-kata lembut yang mampu menembus ke hati dan menyentuhnya dengan lembut.

Bersambung …  

Post a Comment