Air mulai
jatuh ke atap kelas, bising dan pendengaran tidak terlalu jelas. Suara Pak
Kirno melawan air yang menggebrak atap kelas, Andy dan Farah tersenyum dan
sedikit tertawa. Di pojok kelas, tempat si Zackhy duduk, memerhatikan kelakuan
mereka. Jangan tanyakan iri tidaknya Zackhy, jiwa sudah gelisah ingin duduk di
tengah-tengah mereka. Hujan belum reda, kegiatan Andy dan Farah juga belum
reda, apalagi kegelisahan Zackhy, Zackhy sedang mengalami badai yang menerjang
hatinya.
“Baiklah, pelajaran hari ini cukup sampai di sini,” kata Pak Kirno mengakhiri pelajarannya.
“Ia pak,”
sorak semua siswa.
Berhubung
hujan belum reda, Andy dan Farah masih bernaung di koridor bersama teman-teman
yang lain. Mereka hanya diam menunggu hujan. Tiba-tiba Farah berdiri dan menuju
pinggiran koridor, menengadahkan tangannya.
“Hidup itu
kayak air ini, Ndy,” katanya.
“Kok bisa?”
tanyanya sambil berjalan menghampiri Farah.
“Ia, air ini
jatuh, lalu bisa naik lagi, maksudnya hidup manusia itu bisa ada dibawah, bisa
juga ada diatas,” jelasnya.
“Ia ya,
kadang juga hidup itu tak semulus tanganmu,” gombal Andy.
“Ulala …,
gombal nih?” tanya Farah tersenyum.
“Nggak, kalau hidup kayak semulus
tanganmu, itu namanya hidup tanpa tantangan, begitu pula sebaliknya,” jelas
Andy, “Ayo, hujan udah berhenti,” katanya.
“Oh ia, ayo,”
membalas ajakkan Andy.
Zackhy masih
berada di kelas, ia sengaja pulang telat untuk menyimpan sepucuk surat. Setelah
itu ia pulang. Isi surat itu adalah sebuah pusat cinta, yang ditulis tangan
dengan rapi. Kertas berwarna merah muda, dan di sekeliling puisi ada bentuk hati
berwarna biru, merah, dan kuning. Sungguh romantic lelaki ini, tapi dia hanya
bisa menjadi pengagum dan belum dapat memiliki.
Bersambung ...
Post a Comment