Bukan Menjadi Kita (Part 3)

Air mulai jatuh ke atap kelas, bising dan pendengaran tidak terlalu jelas. Suara Pak Kirno melawan air yang menggebrak atap kelas, Andy dan Farah tersenyum dan sedikit tertawa. Di pojok kelas, tempat si Zackhy duduk, memerhatikan kelakuan mereka. Jangan tanyakan iri tidaknya Zackhy, jiwa sudah gelisah ingin duduk di tengah-tengah mereka. Hujan belum reda, kegiatan Andy dan Farah juga belum reda, apalagi kegelisahan Zackhy, Zackhy sedang mengalami badai yang menerjang hatinya.

“Baiklah, pelajaran hari ini cukup sampai di sini,” kata Pak Kirno mengakhiri pelajarannya.
“Ia pak,” sorak semua siswa.

Berhubung hujan belum reda, Andy dan Farah masih bernaung di koridor bersama teman-teman yang lain. Mereka hanya diam menunggu hujan. Tiba-tiba Farah berdiri dan menuju pinggiran koridor, menengadahkan tangannya.

“Hidup itu kayak air ini, Ndy,” katanya.
“Kok bisa?” tanyanya sambil berjalan menghampiri Farah.
“Ia, air ini jatuh, lalu bisa naik lagi, maksudnya hidup manusia itu bisa ada dibawah, bisa juga ada diatas,” jelasnya.
“Ia ya, kadang juga hidup itu tak semulus tanganmu,” gombal Andy.
“Ulala …, gombal nih?” tanya Farah tersenyum.
Nggak, kalau hidup kayak semulus tanganmu, itu namanya hidup tanpa tantangan, begitu pula sebaliknya,” jelas Andy, “Ayo, hujan udah berhenti,” katanya.
“Oh ia, ayo,” membalas ajakkan Andy.

Zackhy masih berada di kelas, ia sengaja pulang telat untuk menyimpan sepucuk surat. Setelah itu ia pulang. Isi surat itu adalah sebuah pusat cinta, yang ditulis tangan dengan rapi. Kertas berwarna merah muda, dan di sekeliling puisi ada bentuk hati berwarna biru, merah, dan kuning. Sungguh romantic lelaki ini, tapi dia hanya bisa menjadi pengagum dan belum dapat memiliki.

Bersambung ...

Post a Comment