Brawlers 4: Would You Hold Me?

Bahkan hingga akhir hayat orang tuaku, aku belum terlalu mengerti apa itu perpisahan. Aku hanya merasa bahagia bila bersama mereka, sebuah kesenangan yang renggut oleh entah siapa. Menembak mereka dengan sebuah pistol, membuat darah kedua orangtuaku membanjiri lantai rumah kami.


Chapter 4: Would You Hold Me?

Siang ini, aku ada janji dengan Yuka di taman. Aku pamit ke bibi, lalu meninggalkan rumah dan berjalan ke taman. Aku memasang earphone-ku, berjalan dengan sedikit berguman. Setelah percakapanku dengan Megumi tadi, aku masih butuh pejelasan.
"Kousuke senpai, sebelah sini," teriak Yuka yang duduk di bawah sebuah pohon.
"Ya!" jawabku dan berjalan ke arahnya, "Maaf membuatmu menunggu," kataku.
"Tidak, aku juga baru datang senpai," kata Yuka dengan senyum manisnya.
"Ada apa kau memanggilku kemari?" tanyaku kepadanya.
"Kemarin, waktu aku pulang sekolah. Seorang lelaki menemuiku, kalau tidak salah namanya S-Seki Toshihiko, ya Seki Toshihiko," katanya.
"Hah!?" aku kaget, "Apa kau tidak apa-apa?" aku langsung duduk di sampingnya dan menatap Yuka.
"Senpai," kata Yuka mengarahkan tangannya ke tangan kananku.
Aku merasakan sebuah perasaan aneh. Tidak salah lagi, pedang ditanganku keluar. Pedang itu menusuk perut Yuka. Aku sangat kaget dan buru-buru melepas pedang itu dari perutnya. Banyak darah yang mengelilingi kami.
"Yuka! Arrg," kataku menutup perutnya yang tertusuk.
"Kousuke," panggil seorang lelaki yang aku tau itu adalah Seki.
"Cih, apa maksudnyaa ini?" tanyaku kepada Seki.
"Lihatlah," Seki kemudian tertawa lepas dengan dipenuhi warna gelap ditubuhnya.
Tiba-tiba tubuh Yuka terasa sangat hangat, kemudian kulihat matanya langsung terbuka. Tatapannya, auranya, itu bukan Yuka yang aku kenal. Yuka kemudian melayang di hadapanku. Kemudian sebuah cahaya menyelimuti Yuka, dan setelah cahaya itu menghilang, pakaian Yuka berubah menjadi sebuah gaun berwarna hitam. Warnanya persis seperti yang Seki pakai.
"Akhirnya kau bersamaku, sayang," kata Seki kepada Yuka dengan menyodorkan tangannya ke arah Yuka.
Yuka kemudian turun dan memegang tangan Seki. Mereka berdua terlihat sangat serasi. Aku melihat perut yang tertusuk oleh pedangku masih mengeluarkan darah.
"Yuka, bisakah aku menggunakan brawlermu untuk membunuh orang yang telah membunuhmu?" tanya Seki.
"Silahkan," kata Yuka dengan ekspresi datar.
Sebuah cahaya mengelilingi mereka, kedua tangan Seki memegang dua alat, tangan kanannya memegang pedangnya, dan tidak salah lagi, tameng pelindung ditangan kirinya adalah milik Yuka. Seki mengarahkan pedangnya ke arahku, belum sempat aku menangkisnya, kekuatan pedang itu telah membuat terlempar jauh ke belakang.
"Kousuke, apa kau tidak apa-apa?" tanya lembut Megumi ke arahku.
"H-he-eh, Megumi? Ada dengan tanganmu?" kataku kaget melihat tangan Megumi yang berlumuran darah.
"Karena kau terluka, luka itu terkirim ke tubuhku," katanya.
"Kenapa bisa begitu?" tanya berdiri membelakanginya.
"Tolong jaga dirimu saja," katanya.
Aku berlari menjunjung pedang sejajar dengan mataku. Aku berlari ke arah Seki, tiba-tiba Yuka menangkis pedangku. Tatapannya sangat berbeda. Aku berusaha menghidari Yuka, aku melihat Seki tertawa lepas melihat Yuka menghalangiku untuk menyerangnya.
"Minggirlah Yuka!" teriakan itu tak henti-hentinya aku ucapkan saat ingin menerobos melewatinya.
Yuka tetap saja menghalangi setiap serangan yang ingin ku arahkan kepada Seki. Sebuah anak panah melintas di bawah pedang, tetap mengenai Yuka. Aku melirik ke belakang, dengan ekspresi datarnya Megumi yang telah melepaskan anak panah itu. Aku langsung terdiam.
"Tidak! Megumi!" teriakku.
Tawa lepas dari Seki semakin nyaring terdengar. Aku merasakan sebuah ledakan kekuatan mengalir dikedua tanganku yang memegang pedang. Sebuah kilatan cahaya mengelilingiku. Aku berjalan ke arah Seki.
"Ini," kataku, "Ini lagi!" menghantam Seki dengan pedangku, "Masih ada," sekali lagi ku ayungkan dengan tenang pedangku ke arahnya. Seki tetap saja tertawa sambil menangkis setiap seranganku.
"Takaguchi, inikah kemampuanmu?" terus menangkis seranganku.
Aku mundur ke belakang, terasa nafasku sangatlah berat. Banyak energi yang ku habiskan untuk menyerang Seki tapi tak ada satu serangan pun yang mengenainya. Aku menunjuk Seki dengan pedangku. Ku lihat Seki hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Keluarlah," ku dengar Seki mengucapkan itu. Di hadapan, sepuluh prajurit bayangan mengawalnya. Aku tak mampu melihat Seki maupun Yuka, karena pengawal Seki menggunakan jubah yang cukup lebar.
"Megumi, apa kau baik-baik saja?" tanyaku kepada Megumi.
"Tidak usah mengkhawatirkanku, habiskan saja pengawalnya," kata Megumi dengan sedikit membentakku.
Aku merasakan sedikit sengatan ditanganku, aku langsung melihat pedang yang sedang ku genggam. Cahaya pedangku semakin terang, tiba-tiba satu pengawal melayang dengan mangayungkan pedang ke arahku. Dengan satu tebasan, pengawal itu menghilang. Aku merasa sangat ringan, aku merasa dapat terbang, tapi tunggu, ini hanya perasaanku saja.
"Jangan terlalu lama menggunakan, kekuatan itu Kousuke," teriak Megumi.
"Tapi, ini sangat hebat," kataku ke arahnya.
Seluruh pengawal melayang ke arahku. Dengan berbagai gerakan pedang, aku membunuh satu demi satu pengawal dengan satu tebasan yang membuat sebuah asap gelap setiap aku membunuh mereka.
"Tunggu hingga duniamu menyatu," ku dengar sayup-sayup suara itu.
Pedangku menghilang, aku segera berlari ke arah Megumi yang masih terluka. Seki dan Yuka telah menghilang. "Sebenarnya, siapa yang penakut aku atau kau Seki?" Ungkapku dalam hati. Setiap pertarungan, yang mungkin kemenanganku, ia selalu menghilang tanpa menggunakan kekuatannya secara sempurna.
"Lalu, Yuka akan menjadi Ratu dari kerajaan dari Seki," ucap Megumi.
"Apa?" aku menatap Megumi penuh penasaran.
"Jangan biarkan menyatu," mata Megumi mulai tertutup dan tak sadarkan diri.

"Kousuke, kenapa Megumi?" tanya Bibi sangat khawatir.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia langsung menyuruhku mengambil air hangat dan kotak obat.
"Tolong cepat Kousuke,"
Baru kali ini aku melihat Bibi sekhawatir ini, terlebih lagi Megumi bukan anggota keluarga kami. Aku membawa baskom berisi air hangat dan sebuah handuk kecil. Aku melihat Megumi terbaring lemah diranjangnya. Darah dibahu kanannya tak berhenti, mungkin semacam pendarahan kecil. Entahlah, aku juga tidak mengerti ada apa dengan Megumi.
"Lukanya berasal dari tubuhku?" sedikit bergumam, lalu aku memeriksa bahuku.
Aku tak menemukan apa-apa disekitar bahu kananku. Tiba-tiba terlintas sebuah ide, mungkin aku mampu menggunakan brawler milik Megumi. Megumi hanya menggunakan selimut, setelah Bibi melepaskan pakaiannya. Aku sedikit risih dengan keadaan ini, aku mendekati Megumi yang masih bersama Bibi. Aku mengarahkan tanganku ke dadanya secara perlahan. Sebelum menyentuh, tangan Bibi lebih dulu memukul tangan.
"Apa yang ingin kau lakukan!? Aku tidak pernah mengajarimu seperti itu," gertak Bibi.
Aku terduduk ke sebuah kursi di dekat ranjang.
"T-tidak, jangan salah sangka, Bi," kataku membelas diri.
"Jangan salah sangka apanya? Jelas-jelas Bibi melihatmu," dengan nada yang sama.
"Terserah Bibilah, aku mau turun ke bawah, jika butuh bantuan, panggil saja aku," aku meninggalkan Bibi.
Bibi hanya bergumam. Aku berjalan menuruni tangga, aku duduk di sofa depan televisi. Aku memerhatikan tangan kananku baik-baik. Kurasa tadi ada sebuah sengatan di sini, tapi tak ada bekas. Lalu, tidak ada rasa pegal sama sekali. Sepuluh musuh, dengan beberapa tebasan itu sangat hebat. Sekali lagi batinku tersentak, mengingat sayup-sayup kalimat mengerikan yang ku dengar tadi.

"Bayangkan, ketika duniamu menghilang, semua kenanganmu juga ikut menghilang. Orang tuamu? Kau rasakan? Mereka hilang bukan? Tidak kembali lagi."
Aku terbangun dari mimpi aneh. Aku berjalan menuju kamar Megumi. Berjalan gontai dengan kedua tangan ku masukkan dalam saku. Bahu Megumi terbalut perban, ya masih tanpa busana, hanya tertutup sebuah selimut putih yang cukup tebal.
"Lebih baik aku yang berada di situ," gumamku.
Aku mengelus kepala Megumi lalu meninggalkannya di kamar. Aku mau ke mana? Kataku dalam hati. Aku menyusuri trotoar, melewati beberapa toko, hingga aku tertuju pada sebuah benda yang dipajang di toko itu. Aku membuka pintu toko dan masuk.
"Selamat sore," kataku.
"Selamat datang," ucap karyawan toko dengan senyumnya.
Aku menuju benda yang aku lihat tadi. Aku mengambil benda itu—sebuah tas berwarna coklat dengan sedikit aksesoris yang cukup menarik perhatianku. Aku segera membawa tas itu ke kasir dan membayarnya. Aku meninggalkan toko dengan tas dipunggungku. Aku kembali menyusuri trotoar dengan sedikit menunduk.
"Kousuke!" aku mendengar sebuah teriakkan dari arah belakang.
Aku segera berbalik dan melihat orang yang menyapaku.
"Oh, kau Yosuke, ada apa?"" tanyaku sambil duduk di kursi depan sebuah toko.
"M-mm, Yuka ke mana?" tanyanya kepadaku.
Sentak aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Yang ku ingat ia bersama Seki dengan sebuah luka tusukan dan anak panah ditubuhnya. Aku menunduk lesuh hingga Yosuke menepuk pundakku.
"Hei," kata Yosuke.
Aku tersadar dan langsung melihat Yosuke.
"A-aku, aku tidak tau," kataku dengan sedikit terbata-bata.
"Bukannya, tadi siang kau bersama Yuka?" tanyanya lagi.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Yosuke langsung melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih serius.
"Kau menusuk Yuka," katanya datar.
Pernyataannya itu kembali membuat terdiam seribu kata. Aku terus menunduk, menatap permukaan trotoar, melihat bayangan Yosuke yang terduduk di sampingku. Apakah Yosuke melihatnya? Bukankah jika pedang itu keluar, kami akan pindah ke tempat yang tak terdefinisi yang dimaksud Megumi? Tanyaku dalam hati.

To be continued ~

Post a Comment