Sejak
kecil aku dibesarkan oleh kakek dan nenek. Kedua orangtua bercerai dan meninggalkan
aku bersama kakek dan nenekku. Kedua orangtuaku itu kini telah memiliki
keluarga baru masing-masing. Ibu menikah dengan seorang lelaki kaya dan
memiliki dua orang anak dan hidup ibu sungguh bahagia tanpa mengingatku lagi.
Sedangkan Ayah, Ayah kini menikah dengan seorang janda yang juga kaya raya dan
tinggal bersama ketiga anak tirinya dan sama seperti Ibu, Ayah tidak
mengingatku lagi.
Kini
aku bersekolah di salah satu sekolah menengah atas negeri di tempat aku
tinggal. Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa berprestasi untuk sekolah di sana
dan ada orang yang mau membiayai keperluan sekolahku seperti buku, baju, tas,
sepatu, dan kebutuhan sekolah lainnya. Namun, itu hanya untuk biaya sekolah.
Aku hidup dengan usahaku sendiri, aku menjual hasil kebun kakek ke pasar dan
menjajakan kue hasil tangan nenek yang rasanya enak.
“Kek,
Nek, ini hasil jualannya,” kataku memberikannya kepada nenek.
“Iya
nak, sana pergi makan kamu pasti lapar,” kata nenek.
“Iya
Nek, kalau gitu Beni makan dulu yah?” kataku sambil meninggalkan kakek dan
nenek.
“Makan
yang banyak yah?” sahut nenek dari depan.
“Iya
nek,” jawabku.
x
Keesokan
harinya aku seperti biasa ke sekolah dan Alhamdulillah tadi subuh nenek buat
kue untuk aku jajakan di sekolah. Sesampai di sekolah seperti biasa juga, aku
di olok-olok sama teman-temanku yang memang terlahir di keluarga yang kaya dan
bahagia.
“Hei,
lihat si Beni sang penjual kue,” teriak Jihan sambil menunjuk ke arahku.
Seketika semua orang di dekat Jihan dan sekitar aku menertawaiku. Namun,
Nabilah yang juga termasuk orang kaya sangat berbeda dengan mereka ia tidak
menyukai kalau ada orang yang dihina kayak aku.
“Kalian
kenapa sih? Emang kalian tidak kasihan apa, lihat Beni mencari uang untuk
menyambung hidupunya!” bentak Nabilah.
“Kamu
tuh yang kenapa, kenapa kamu bela dia Nabilah? Kamu naksir yah?” tanya Jihan
spontan.
“Aku
nggak naksir dia, aku cuma kasihan lihat dia yang setiap hari kalian tertawai,
apa kalian tidak malu apa. Dia menjual kue untuk kakek dan neneknya. Sedangkan kalian dan juga
aku hidup senang dengan uang hasil jeri
payah orang tua, beda dengan Beni,” jawab Nabilah.
Jihan
dan teman-temannya hanya terdiam menunduk mendengar penjelasan Nabilah.
“Beni, ayo pergi tinggalin mereka,” ajak
Nabilah.
“Iya Nab,” jawabku sambil mengikuti
Nabilah dari belakang.
“Nanti
kalau kamu di kasih gitu lagi, langsung tinggalin mereka jangan berdiri tegak
di depan mereka,” katanya Nabilah dengan sisi yang lebih lembut.
“Gak apa Nab, aku udah hampir tiap hari
kok di gituin,” jawabku
“Biasa
sih biasa tapi jangan di biasain donk, emang kamu gak sakit hati apa di
gituin?” tanya Nabilah berhenti di depan kelas.
“Kan
kenyataan gitu, aku hanya seorang penjual kue beda dengan kalian,” jawabku
singkat.
“Iya sih, tapi aku kasihan liat kamu di
giniin,” kata Nabilah.
“Aku
masuk dulu yah? Mau taruh tas dan membawa kue ini ke kantin,” kataku.
“Ok, aku juga boleh ikutkan ke kantin?”
tanyanya.
“Iya
boleh,” jawabku sambil berjalan menuju kursiku begitu juga Nabilah yang sekelas
dengan aku.
Sepulang
sekolah, aku langsung ke kantin dan mengambil hasil penjualan kue nenek terjual
dengan upah Rp. 67.000 yang sudah cukup banyak di kehidupan aku, kakek, dan
nenek. Di perjalanan pulang mobil putih berhenti di samping dan ternyata itu
Nabilah.
“Ben,
naik gih aku antarin kamu ke rumah, yah silahturahmi juga ama nenek dan kakek
kamu,” kata Nabilah.
“Kagak
usah Nab, biar aku jalan saja nanti mobil kamu kotor karena sepatuku yang penuh
kotoran,” jawabku menolak.
“Kan
ada jasa cuci mobil jadi kagak usah takut kotor,” sambil turun dari mobilnya
lalu menarikku masuk ke mobil.
“Kagak usah Nab, aku jalan aja,” kataku
menolak.
“Kalau
kamu gak mau pulang bareng aku, aku ngambek!” kata Nabilah.
“Baiklah aku terima tawaranmu,” jawabku.
Sekitar
lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di sekitar tempat tinggal aku
yang kumuh.
“Rumah kamu di mana Ben, kok gak
ketemu-ketemu?” tanya Nabilah.
“Turun
di sini aja Nab, rumah aku di gang kecil itu,” jawabku sambil turun dari mobil.
“Yakin di sini aja? Kan masih jauh,
perlu aku anterin?” pinta Nabilah.
“Emang mau ikut? Nanti sepatu kamu kotor
lagi, kagak usah deh,” jawabku.
Nabilah
langsung turun dari mobilnya dan memberi tahu sopirnya agar menunggu sebentar.
Ku perhatikan Nabilah tidak ada rasa jijik berjalan di gangku yang sempit dan
bau ini. Dia hanya tersenyum ke arahku dan sesekali berteriak karena ada kecoak
yang lewat di dekatnya. Sesampai di depan rumah, Nabilah terdiam.
“Kamu
kenapa Nab?” tanyaku.
“Gak
kok, ayo masuk!” ajaknya.
Kami
pun masuk dan di sambut oleh kakek dan nenekku.
“Dia
siapa Beni?” tanya kakek.
“Namanya
Nabilah kek, dia teman sekolah aku,” jawabku
“Kenalin
Kek, Nek, aku Nabilah,” sahut Nabilah memperkenalkan diri.
Tak
lama kemudian Nabilah berpamitan pulang karena sopirnya sudah datang menjemput
Nabilah.
x
Aku
sangat bersyukur bisa mempunyai teman seperti Nabilah. Bisa mengerti keadaan
yang aku alami, dia seperti taman kecil yang tak memilih-milih teman. Aku
sebagai bunga liar diizin untuk hidup di taman kecilnya. Rasanya hidup begitu
mudah untuk ku lalui.
Mungkin
susah mencari orang seperti Nabilah untuk kedua kalinya, maka dari itu aku
takkan pernah mengecawakannya.
“Upz,
maaf yah udah ngejatuhi kue mu?” kata Farel dengan muka sombongnya.
“Iya
gak apa-apa,” jawabku.
“Kamu
mau, aku ganti berapa kuenya, ini ada sedikit uang,” mengeluarkan uang puluhan
ribu yang diberi oleh orang tuanya.
“Kamu
sebaiknya menabung uang itu, aku masih bisa cari uang sendiri,” jawabku.
“Oh,
sombong yah?” katanya sambil mendorong pundakku.
“Aku
tidak sombong, aku nyadar diri kok,” kataku meninggalkan Farel.
Sesampai
di kantin aku langsung menitipkan kue nenek lalu ku berjalan ke kelas. Perjalanan
ke kelas aku berpapasan dengan Nabilah jadi kami berjalan bersama menuju kelas.
Tadi
bukannya masalah sudah selesai tapi Farel memperkeruh masalah dengan menaruh
paku di tempat aku duduk, “Sial,” tapi aku tidak membalas itu dengan keburukan
tapi aku membalasnya dengan mendapatkan nilai ulangan yang cukup baik,
sedangkan dia di bawah rata-rata. Mungkin Farel merasa malu sendiri.
x
Keesokan harinya, semua begitu
berubah. Entah apa yang sedang terjadi atau ini sebuah mukhjizat-Nya. Semua
teman yang menghinaku, kini balik member pujian untuk diriku. Entah ada apa aku
masih tidak mengerti dengan apa yang di atur oleh-Nya.
“Hei Ben,” sapa Farel.
“Hai,” sapaku balik.
Aku terus berjalan, senyuman demi
senyuman pun terbentuk dari lekukang bibir siswa di sekolah. Aku tambah
penasaran apa yang sebetulnya terjadi.
“Hai Beni, selamat yah?” kata
Nabilah.
“Untuk apa?” tanyaku keheranan.
“Ah, jangan pura-pura gak tau,”
ledek Nabilah.
“Kamu berhasil mempermalukan Farel
yang super duber sombong itu,” katanya.
“Dengan sebuah Nilai Nab?” tanyaku.
“Iya, hanya sebuah nilai, itu bukti
kalau orang yang baik akan mendapatkan kebaikan,” jawabnya.
“Tapi?” tanyaku lagi.
“Udah baikan? Masih sakit?”
tanyanya.
“Alhamdulillah, udah enggak,”
jawabku.
Kini semua rata, semua adalah taman
kecilku, mereka yang menerima aku apa adanya. Dengan kenyataan hidup yang
pahit, aku mampu membuatnya manis karena berteman dengan mereka yang tak lagi
menghina dan mencelahku. (TAMAT)
Post a Comment