Pecinta Ramen

Persahabatan adalah sebuah kesuksesan dan kebahagiaan. Setidaknya itu adalah kalimat-kalimat yang sering terdengar jika mendengar chara anime (karakter kartun Jepang) saat akan menyelamatkan temannya atau mereka akan melakukan segala hal agar temannya tidak mati ataupun terluka. Tetapi, tidak semua manusia akan melakukan hal itu. Manusia mempunyai sikap egois sebagai sifat alamiahnya.
“Hoi, hoi!” sapa Yukio kepada Aoi.
Aoi tidak mendengar sapaan dari Yukio. Tangan Yukio meraih dua buah benda yang menempel di telinga Aoi dan langsung duduk dengan kedua kaki bertumpu pada kursi taman.
“Eh,” Aoi menoleh dan terlihat cukup kaget.
“Huuh, kau selalu menggunakan barang jelek ini,” kata Yukio memainkan headphone milik Aoi.
“Ya, benda ini milik aku,” sambil merebutnya dari tangan Yukio.

Taman sore ini cukup ramai. Di bagian untuk bermain terdapat banyak anak yang bermain-main dengan teman-temannya. Di sisi lain, tepatnya tempat Yukio dan Aoi berdua, mereka di kelilingi pasangan remaja yang sedang memadu kasih.
“Kau tidak malu?” ledek Yukio sambil melirik salah satu pasangan.
“Malu? Buat apa?” tanya Aoi menatap tajam Yukio.
“Kyaaa,” dengan muka sedikit kesal, “Tidak, lupakan saja,” Yukio menundukkan kepalanya.
Aoi berdiri, memasang headphonenya kembali, lalu meninggalkan Yukio. Yukio tidak berangjak dari tempat ia duduk, melihat Aoi pergi meninggalkannya sudah cukup membuatnya sedikit terluka—entahlah.
“Kau tidak mau ikut?” sebuah tangan  berada di depan wajahnya.
“Hah?” ia menengok ke atas, “Heeeh,” dengan wajah yang imut.
“Mau tidak?” tanya Aoi dengan sedikit menekan kata tidak.
“Ma-mau,” Yukio menyambutnya dengan sangat gembira.
Akhirnya mereka berjalan meninggalkan taman dan menuju kedai ramen yang terletak tak jauh dari taman. Yukio melangkah dengan kedua tangan di atas kepalanya, sedangkan Aoi tetap asyik mendengarkan musik.
“Tolong, ramen yang seperti biasa, Paman!” sahut Yukio dengan semangat.
“Hiih, lebih tenang sedikit bisa tidak?” Aoi sedikit risih dengan kelakuan Yukio.
“Ittadakimasu – selamat makan dalam bahasa Jepang,”
Yukio memakan ramen yang ada di depannya dengan cukup lahap sedangkan Aoi hanya melihat Yukio memakan ramennya. Tiba-tiba, dengan tatapan super Yukio, Aoi langsung kaget.
“Heeeee,” Aoi melihat mangkok ramennya telah bersih sempurna.
Paman penjual ramen hanya melihat mereka dengan sebuah senyum lebar. Yukio menghabiskan ramen milik Aoi dengan kecepatan super. Cukup aneh tapi Yukio sangat menyukai ramen buatan Paman penjual ramen.
“Kau terlalu serius menatapku, baka – bodoh dalam bahasa Jepang.”
“Jangan terlalu percaya diri, aku tidak melihatmu!” Aoi menjitak kepala Yukio dengan keras.
Setelah menyelesaikan pertengkaran itu, mereka meninggalkan kedai ramen dan kembali menuju taman tadi.
“Terima kasih, ramennya Paman!” teriak Yukio.
Dengan langkah yang aneh, Yukio berjalan di samping Aoi yang sedari tadi memerhatikan tingkah lakunya. Kedua tangannya bukan lagi di atas kepala, melainkan di atas perut yang terisi penuh dengan ramen sebanyak dua porsi. Di perjalanan, mereka bertemu dengan Shiori. Shiori, Aoi, dan Yukio adalah siswa SMA kelas 3 dan mereka juga sekelas.
“Hai!” sapa Shiori berhenti di hadapan mereka.
“Yoo,” kata Yukio dengan malas.
“Hai, Shiori dari mana?” Aoi melepaskan headphonennya dan menaruhnya di leher.
“Oh ini,” memperlihatkan kantong, “Aku dari membeli novel baru,” jawabnya.
“Oh,” Yukio semakin bosan, “Oi, kalian, aku pergi duluan ya?”
“Kenapa?” tanya Shiori.
“Supaya kalian bisa menikmati kebersamaan,” dengan nada yang sangat rendah.
“Apa yang kau bilang?” tanya Aoi.
“Oh, ada banyak yang harus kukerjakan, ok? Bye bye.”
Sambil melambaikan tangan, Yukio semakin tidak terlihat dan sekarang hanya tersisa Aoi dan Shiori di depan pintu masuk ke dalam taman.
“Aoi, kita duduk di sana saja,” kata Shiori.
“Oh, ia,” berjalan di samping Shiori.
“Shiori mau cerita apa?” kata Aoi dengan pipi sedikit merah.
“Tidak, aku hanya mau bersama dengan Aoi,” kata Shiori – gombal cuy.
Setelah bercerita cukup panjang dengan Shiori. Suasana taman semakin sepi, bahkan bisa dikata, sekarang mereka tinggal berdua. Tiba-tiba sebuah suara dari belakang semak-semak berbunyi dan mengagetkan mereka. Sebuah pukulan menghantam cukup keras dibagian pelipis Shiori.
“Kau! Kau! Beraninya kau melakukan itu! –mau mencium Aoi,” dengan kedua tangan masih mengepal cukup keras.
“Ciih, kau menganggu saja!”
Shiori langsung berdiri dan mengarahkan tinjunya ke wajah Yukio. Tetapi, dengan cekatan, tangan Yukio memegang lengan atas Shiori dengan tangan kirinya, lalu tangan kanan ia arahkan ke perut dan mengangkat Shiori yang tidak seimbang ke arah belakang. Shiori terpental cukup keras akibat bantingan dari Yukio.
“Yukio! Hentikan!” teriak Aoi dari belakang.
“Terkadang! Antara akrab dan kurang ajar itu beda tipis!” kata Yukio.
“Tidak, kau salah paham!” kata Aoi.
“Salah paham maksudmu? Heh, aku dari tadi ada di sana memperhatikannya,” jelas Yukio.
Belum sempat Aoi membalas kata-kata Yukio. Yukio berlari ke arah Shiori dan menendang perutnya.
“Pergi dari sini! Awas kalau kau berani menganggu orang yang ku sayang!” kata Yukio.
Shiori berdiri lalu berlari meninggalkan Yukio dengan kedua tangan memegangi perutnya yang tadi ditendang oleh Yukio. Tiba-tiba, dua buah tangan melingkar di perut Yukio. Ia sadar, bahkan tangan itu milik Aoi yang tengah memeluknya dari belakang.
“Sudah, aku tidak melakukannya,” kata Aoi.
“Kuharap itu tidak pernah terjadi,” kata Yukio.
“Sejak kapan kau sayang dengan aku?” tanya Aoi dan buru-buru melepaskan pelukannya.
“Heee,” Yukio memikirkan hal itu, “Hmm, entahlah, kurasa sudah lama tapi aku juga tidak tau,” kata Yukio sambil duduk di tanah.
“Huaah, terima kasih Yukio. Kurasa kau bisa diandalkan!” kata Aoi mengelus kepala Yukio.
Kasih sayang bukanlah hal yang mudah itu ditebak. Tetapi, kasih sayang dapat menjelaskan seberapa kuat dirimu ketika kau merasakan rasa cemburu. Jangan pernah meremehkan setiap rasa sayang yang orang lain berikan kepada kalian.

Post a Comment